Can I Be Your Eleanor?

Cast(s): Chanyeol [EXO-K] & Yejin [OC] ▲ Genre: Romance, Fluff, slight!comedy ▲ Duration: >3000wc ▲ Rating: PG-16

Soundtrack: Ed Sheeran – Lego House

Summary:

Yejin berdiri di ambang pintu sambil mendekap buku itu

“Can I be your Eleanor, Park?”

Dan Park Chanyeol berhenti membersihkan alat pendinginnya

“Huh?”

Ini mungkin pertama kalinya Yejin pergi ke toko buku bekas atau dia pernah—entahlah, dia lupa. Bukan seorang yang gemar membaca, gadis itu terlalu banyak terkontaminasi oleh buku-buku kuliahnya. Jadi, dia pikir cukup sudah, dia lebih baik membaca majalah yang masih menyisipkan gambar dan warna-warna cerah di setiap halaman. Plus, selalu ada rubrik artis tertampan di bulan itu. Yejin paling suka bagian itu dan membacanya berulang-ulang tanpa sepengetahuan Chanyeol—kekasihnya.

Ini juga mungkin kali pertamanya Yejin menghabiskan liburan musim panasnya bersama Chanyeol. Bibi dan pamannya mengizinkannya atau lebih tepatnya tidak peduli. Sudah berapa kali Chanyeol bilang dia harus keluar dari rumah itu dan hidup sebebas ilalang di padang rumput Afrika.

“Oh yeah, hidup sebebas ilalang di Afrika dan tinggal bersama singa. Thanks. Idemu bagus juga, Yeol,” katanya sarkastik. Namun, pemuda itu hanya tersenyum dan menggigit bahunya. “Aw! Apa yang kau lakukan, huh?”

“Kalau begitu biarkan aku menjadi singanya.”

“What the hell.”

Masih terlalu pagi untuk menjadi keju mozzarella, Park Chanyeol, beritahu Yejin dalam hatinya. Dia tidak dapat menghentikan dirinya tersenyum, bahkan senyumannya tak luntur ketika Chanyeol mengeluarkan karavannya dari garasi dan berseru, “Hei Nona Singa, kau mau ikut Tuan Singa ke kota dan membeli beberapa snack tidak?”

Well, ajakan Tuan Singa itulah yang membuat Nona Singa berdiri di antara rak-rak pendek toko buku bekas ini. Dua puluh menit yang lalu dia berpisah dengan Chanyeol. Dia bilang, “Aku mau lihat-lihat buku di sini. Kau berbelanja sendirian tidak apa-apa kan?”

Chanyeol menyetujuinya, “Oke, aku akan kembali ke sini lagi. Jangan ke mana-mana. Kalau kau hilang, aku tidak tahu lagi harus mencari ke mana gadis sepertimu.”

“Eww, cheesy.” Dan sosok jangkung itu pun menghilang di ujung jalan.

Gadis itu menyusuri rak demi rak. Dia tidak mengerti buku seperti apa yang menurut orang-orang bagus. Ada dua tumpuk buku Harry Potter di sudut toko, berdebu dan tampak mengerikan. Mengerikan karena saat Yejin berdiri di sampingnya, tumpukan itu seperti mau menyaingi tinggi tubuhnya.

“Tidak, terima kasih. Kau mengingatkanku pada buku mata kuliah si botak Lee itu.”

Yejin meninggalkannya, beralih pada rak yang lebih tertata rapi.

“Itu koleksi terbaru,” seseorang berkata dari balik meja kasir, pria dengan kumis hitam nan tebal. “Baru datang tadi pagi.”

“Oh.”

“Kalau beli dua dapat potongan dua puluh lima persen.”

Yejin mengangguk paham.

“Tapi kau bisa dapat potongan lima puluh persen karena kau cantik.” Lalu dia mengedipkan sebelah matanya. Ugh, beruntunglah Chanyeol tidak ada di sini.

“Trims.” Yejin merespon setengah hati tepat ketika matanya bertemu satu buku berjudul Eleanor & Park.

Oke, ini adalah judul  paling provokatif dalam hidupnya. Dia tidak bermaksud menertawainya, tapi kenapa harus ada nama Park di sana. Yejin mengambilnya, menatap judul itu selama beberapa detik, khususnya pada huruf P-A-R-K. Tidak, dia tidak bisa membayangkan Chanyeol menjadi tokoh fiksi di buku mana pun, karena si jangkung itu terlalu konyol. Sifat dan karakternya terlalu unik untuk dijabarkan dalam satu rangkai kata-kata, terlalu aneh sampai-sampai setiap penulis enggan menulisnya.

Tapi kau menyukainya kan? Yejin menemukan dirinya menjawab ‘tidak’ dan ‘ya’ secara bersamaan. Begitu melihat Chanyeol sudah ada di depan toko, mengecek kantung belanjaannya dengan dahi berkerut, Yejin tahu lelaki itu pasti melupakan sesuatu atau salah mengambil barang.

Yejin keluar dari toko buku bekas itu dan menggamit tangan Chanyeol. Dia terlihat begitu senang.

“Kau ceria sekali.”

“Memang.”

“Kau beli buku?”

“Yap,” Yejin mendekap bungkus cokelat. “Dan aku dapat potongan lima puluh persen.”

“Bagaimana bisa?”

“Tentu saja bisa—hei, apa yang kau beli?” tanya Yejin mengalihkan perhatiannya. Jangan sampai Chanyeol tahu darimana potongan harga itu berasal.

Chanyeol menghela napas, bahunya melorot sedih. “Aku salah ambil parfum—kukira ini Axe.” Dia mengeluarkan botol pembasmi serangga ukuran kecil.

Tawa Yejin meledak.

***

Yejin pernah mendengar Luna dan Irene—teman kampusnya—berkata mereka sangat menyukai novel Twilight dan begadang semalaman penuh demi membacanya sampai habis. Luna bilang dia jatuh cinta pada sosok pucat Edward Cullen yang dapat membaca pikiran Bella, sementara Irene berharap Minho—sang kekasih—dapat berubah jadi serigala seperti yang dilakukan Jacob setiap dia marah.

Yejin hanya dapat memutar kedua bola matanya diam-diam. Novel roman picisan terkadang menjadi racun paling berbahaya. Lihat saja bayangan hitam yang mewarnai mata mereka berdua, dan mereka sama sekali tidak menyesalinya. Oh my God, sebagus itukah Twilight?

Tapi, kali ini keadaannya jadi sedikit berbalik pada Yejin. Sesampainya di dorm, dia langsung membuka pembungkus buku itu dan mulai membacanya. Chanyeol membiarkannya berbaring telungkup di tempat tidurnya sedangkan laki-laki itu duduk di sofa; makan biskuit dan menonton film Kingsman The Secret Service sendirian.

“Kau tidak mau nonton?” tawarnya pada gadis yang kini duduk bersila di atas bantal kesayangannya.

“Nope.”

“Oke.”

Chanyeol merasa sedikit aneh. Rasanya aneh karena biasanya ada Yejin di sampingnya. Mereka tidak pernah tahu akhir dari semua film yang mereka tonton, karena ketika melihat Chanyeol atau Yejin tertidur, yang lainnya mengikuti. Mereka terbangun saat daftar credit hampir mencapai batas akhir. Dan sekarang, Chanyeol menontonya sampai habis tanpa tertidur sama sekali, dan Yejin masih membaca. Posisinya berubah-rubah, namun mata tertempel erat-erat pada halaman buku.

“Yejin.”

“Ya?”

Chanyeol menatapnya sedikit lama. Gadis itu sama tidak menoleh. “Yejin.”

“Apa?”

Sama-sekali-tidak-menoleh.

“Aku lapar.”

“Aku juga.”

“Lalu?”

“Hmm?”

“Yejin!”

Detik itu Yejin mengambil selembar tisu sebagai pembatas halaman di mana dia berhenti membaca. Dia merasakan ini, iya, Yejin merasakan ini. Betapa susahnya menutup buku itu dan beranjak dari kasur demi meladeni permintaan perut. Wah, ini gawat.

“Oke, oke. Ayo kita makan sesuatu.”

***

“Aku akan pergi ke studio dan berlatih band dua sampai tiga jam,” beritahu Chanyeol. “Al Capone diundang untuk mengisi acara ulang tahun putri CEO perusahaan Sekai minggu depan. Kau mau ikut?”

Yejin mengangkat pandangannya dari buku sekitar dua detik lalu menjatuhkannya lagi. “Kau keberatan jika aku tidak ikut?”

“Yeah, terserah padamu,” Chanyeol mengedikkan bahunya. “Lagipula aku benar-benar akan sibuk di sana. Aku takut kau bosan. Plus, ada Jongdae. Aku takut dia menggodamu karena dia sedang single sekarang.”

“Hmm, oke,” balas Yejin.

Chanyeol melihatnya lewat cermin. Gadis itu sudah berbaring di atas tempat tidurnya semenjak sesi makan siang selesai dan mereka tidak berbicara selama itu. Memang, terkadang ada kesunyian yang nyaman terjadi di antara keduanya. Tidak selamanya sepasang kekasih menghabiskan waktu dengan mengobrol ini itu atau melakukan sesi cuddle di sofa sepanjang hari (meskipun Chanyeol tidak keberatan melakukannya, sungguh). Dia membiarkan Yejin tenggelam dalam buku itu walaupun dia lebih senang saat Yejin tenggelam bersamanya.

“Oke, aku pergi.” Lelaki itu memberikan sentuhan terakhir pada rambutnya yang setengah basah sehabis keramas dan memutuskan untuk mengacak-acaknya lagi.

“Yeah. Hati-hati di jalan.”

“Aku…pergi, Yejin.”

Tidak membalas apa-apa, hanya mengangguk yang dia lakukan. Kemudian Chanyeol mencondongkan tubuhnya ke arah Yejin, wajahnya tepat berada di depan gadis itu. Tidak mungkin Chanyeol pergi tanpa kecupan-kecupan kecil yang biasa Yejin daratkan di wajah atau bibirnya, iya kan? Itu adalah jimat keselamatannya, tahu!

Tapi Yejin malah diam dan membalik halaman dengan serius.

“Yejin.” Suara Chanyeol terdengar seperti geraman halus.

“Hah? Apa?”

Chanyeol tidak mau memberitahu apa yang harus dia lakukan. Dia menunggu.

“Katanya kau mau pergi, kenapa masih ada di sini?” Dan sekarang dia mengusirnya?!

Chanyeol memajukan bibirnya seperti anak kecil yang tidak mendapatkan es krim. Yejin baru mengerti apa yang dia maksud. Dan daripada mengecupnya di bibir, dia menempelkan ‘jimat keselamatan’ itu di dahinya.

“See ya.” Dia mengulas senyuman manis yang membuat sebagian organ dalam tubuh Chanyeol meleleh. Namun dia kembali membeku sekeras batu es setelah Yejin berkonsenstrasi lagi pada bukunya.

“Dammit, Kim Yejin. Apa sih yang kau baca?”

Chanyeol hendak mengambil buku itu sekedar melihat siapa nama pengarangnya, kenapa dia begitu tega menciptakan buku yang menyita seluruh perhatian gadisnya.

Yejin cepat-cepat menjauhkannya dari Chanyeol. “Bukan apa-apa, oke? Pergilah, Yeol. Atau kau akan terlambat dan Kris memukulmu dengan stick drumnya,” dia benar, dia sangat benar. “Hush, hush!” dan pengusiran itu tidak terasa mengenakkan.

Chanyeol berharap saat dia pulang, Yejin telah menyelesaikan buku itu. Damn, dia mau Yejin tenggelam bersamanya, bukan dengan buku yang bahkan dia tidak tahu apa judulnya.

***

Chanyeol berusaha sebisa mungkin melarikan diri dari studio Al Capone, tapi dia tahu itu mustahil. Mustahil karena Byun Baekhyun mengambil sebagain besar waktu latihan mereka dengan bercanda, lalu ada Tao yang sempat marah atas tingkah Baekhyun dan enggan melanjutkan latihannya, kemudian butuh sepuluh sampai lima belas menit untuk Kris mengembalikannya ke dalam band. Chanyeol tahu cuma dia dan Xiumin yang berharap semua ini cepat selesai. Please, ini liburan musim panas, siapa pun ingin menghabiskan waktu bersama kekasihnya.

“Ugh,” Xiumin tak henti-hentinya melihat jam tangannya. “Aku punya acara makan malam. Cherry bisa membunuhku kalau aku terlambat.”

“Aku juga,” timpal Chanyeol.

“Kau juga?”

Dia menganggukkan kepala. “Yejin menungguku di dorm.”

Tunggu, apa gadis itu menunggunya? Chanyeol tak yakin sepenuhnya. Terakhir kali dia meninggalkannya, Yejin lebih tertarik pada buku di tangannya. Bisa saja dia tak mengharapkan Chanyeol pulang malam itu.

Bisa saja.

Dan…

Chanyeol menyesali kepulangannya. Karena ketika dia membuka pintu dan meletakkan gitar di meja, Yejin muncul.

Matanya bengkak dan berair, seolah seseorang baru saja memarahinya dan dia menangis begitu kencang.

“Yejin, ada apa denganmu?! Apa kau menangis?” Chanyeol buru-buru menghampirinya.

Yang bersangkutan tidak menjawab pertanyaannya, dia hanya cegukan dan mengelap air mata memakai tisu. “Aku mau pulang.”

“Wha—apa? Kenapa?” Kini rasa prihatin Chanyeol digantikan oleh rasa bingung. “Apa yang terjadi, Yejin—“

“Aku mau pulang dan berbaring di lantai ruang TV dan meneleponmu dalam kegelapan sambil memutar lagu Ed Sheeran atau Ellie Goulding—entahlah, kau mau dengar lagu apa?”

Segala yang keluar dari mulut Yejin terdengar random. Chanyeol memang random dan absurd, namun percayalah, yang satu ini membuatnya pusing kepala.

“A-apa? Yejin, aku tidak—“

“Yeol, aku mau pulang. Please, antar aku.”

Chanyeol mengembalikan gadis bermarga Kim ke rumah bibi dan pamannya malam itu. Ini lebih buruk daripada mendapati Yejin berbaring sepanjang hari mengacuhkan dirinya bersama buku. Oh—apa ini disebabkan oleh buku itu? The hell, buku apa sih itu sebenarnya?

“Yejin,” Chanyeol menahan tangannya sebelum Yejin keluar dari mobil. “Katakan, apa ini semua gara-gara buku yang kau baca?”

“Apa?”

“Semenjak kau membacanya, kau mengacuhkanku, kau seolah-olah tersihir akannya.”

Yejin berpikir sejenak, lantas dia berkata, “Aku akan meneleponmu nanti saat kau sampai di dorm.“

“Dan buat apa meneleponku jika kita bisa berbicara langsung? Yejin, kau yang bilang sendiri ingin menghabiskan musim panas ini bersama—“

Chanyeol tidak sempat menyelesaikan ocehannya. Bibir Yejin membungkamnya. Ciuman itu tidak berlangsung lama, namun sedikit meracuni pikiran Chanyeol. Sapuan bibir gadis itu membuatnya menggila dan saat dia ingin menarik Yejin lebih dekat, gadis itu melepaskan.

“Aku akan meneleponmu, Yeol.”

***

“Hai.”

“Hei.”

“Maaf, untuk yang tadi.”

“Aku tetap tidak mengerti, Yejin.”

“Kau ingin aku menjelaskannya?”

“Tentu saja! Hell, kau mengacuhkanku seharian, lalu kau minta pulang, lalu aku bingung, kau menciumku, dan sekarang kita berbicara di telepon sementara kita bisa bicara sambil saling menatap wajah satu sama lain. Aku tentu ingin mendapatkan penjelasan, Kim Yejin.”

Jadi ini rasanya—rasanya menjadi tokoh Eleanor di dalam buku itu. Berbaring di tempat gelap, membiarkan musik mengalun pelan lewat stereo, dan mendengarkan suara seseorang yang kau cintai di seberang telepon. Ternyata ini seru, ini menegangkan karena bibi atau pamannya bisa saja memergokinya menelepon seseorang tengah malam di ruang TV—sama seperti Eleanor yang menelepon Park malam itu, takut ayahnya pulang.

“Kau tahu, Yeol, aku baru sadar kita tidak pernah berbicara lewat telepon.”

“Itu karena kita bertemu setiap hari di kampus. Gosh, lagipula kenapa harus melakukan ini? Kau tahu aku lebih suka berbicara sambil memperhatikan wajahmu.”

“Tapi suaramu kedengaran sangat lucu.”

“Oh ya?”

“Uhum, seperti lebih rendah satu oktaf. Aku bisa saja membayangkanmu sebagai pria hidung belang yang suka menggoda wanita di bar.”

“Damn, Yejin, damn!”

Yejin tertawa. Suara Chanyeol merupakan salah satu alasan mengapa Yejin menyukainya. Dan oke, mungkin memang suara itu tercipta untuk menggoda hatinya.

“Yeol.”

“Ya?”

“Apa kau merindukanku?” pertanyaan macam apa itu? Mereka baru berpisah satu jam yang lalu, apa ada alasan untuk Chanyeol merindukannya, setelah apa yang dia perbuat hari ini?

“Tidak, aku tidak merindukanmu. Aku sebal padamu. Kau membiarkanku sendirian dan menyiksaku dengan menelepon seperti ini.”

Yejin tahu dia akan menjawabnya demikian.

“Hgh, oke aku bohong. Aku merindukanmu.”

“A-apa?”

“Sekarang kau tahu bagaimana cara menyiksaku, Kim Yejin; telepon aku dan jangan temui aku. Ingat baik-baik hal ini, Yejin. In case, kau mau membunuhku suatu hari nanti.”

“Kenapa pula aku mau membunuhmu?” tanya Yejin tergelak.

“Entahlah, kau tampak seperti seseorang yang dapat menciumku dan menghunuskan pisau dalam-dalam di waktu yang bersamaan.”

“Aku tidak begitu.”

“Siapa yang tahu.”

“Aku juga merindukanmu.”

“Kau mau aku menjemputmu sekarang?”

“Tidak.”

“Nah, lihat. Kau membunuhku pada akhirnya kan.”

“Maaf.”

Yejin bahkan tidak mengerti mengapa dia harus meminta maaf. Dia tidak benar-benar membunuh Chanyeol. Lagipula Chanyeol-lah yang lebih sering membunuhnya. Chanyeol bermain gitar, kakinya mati rasa; Chanyeol menyentuh tangannya, hatinya melebur jadi seperti butiran pasir; Chanyeol memeluknya, Yejin seperti menghilang di antara nirwana.

“Yeol.”

“Hmm?”

“Aku meneleponmu sambil berbaring di karpet ruang TV.”

“Kau benar-benar melakukannya?!”

“Dan stereo paman ternyata tidak berfungsi, alhasil aku mendengarkannya lewat playerku.”

“Uhuh, aku bisa mendengar Ellie Goulding berteriak di sana.”

“Dia tidak berteriak. Dia bernyanyi.”

“Oke. Lalu kapan kau akan kembali ke sini, Kim Yejin?”

“Entahlah.”

“Oh my God, kau berkata seolah tidak berencana ke sini lagi.”

“Memangnya kenapa?”

“’Memangnya kenapa’? Hei, aku bahkan tidak yakin bisa melewati malam ini, oke? Stop menyiksaku lebih dari apa yang seharusnya kuterima.”

“Jangan berlebihan, Park Chanyeol. Lalu bagaimana caranya kau melewatkan malam tanpaku selama ini, huh?”

Di sana Chanyeol menghela napas. Yejin bisa membayangkan wajahnya yang frustasi, tangannya yang penuh tonjolan urat menggosok permukaan wajahnya tak sabar. Selelah itukah menjalani hubungan bersama Yejin? Dia terkadang takut suatu hari nanti Chanyeol akan berhenti menjadi orang bodoh dan menyadari semua ini—bahwa bodoh adalah memacari seseorang yang bernama Kim Yejin, seseorang yang tidak jelas latar belakang keluarganya, yang tidak tahu bagaimana menggapai masa depan.

“Sejak bertemu denganmu dua tahun lalu, malam adalah waktu yang paling sulit kulewati, Yejin. Seperti jantungku hanya berdetak saat berdekatan denganmu, saat kita berjauhan…detaknya melemah. Lalu mendengar suaramu malam ini tanpa bisa melihat wajahmu, jantungku berdetak tak karuan. Kau bisa membayangkannya betapa menderitanya aku kan?”

Yejin tidak bisa membayangkannya. Apa Chanyeol baru saja mengatakan bahwa dia adalah sumber kehidupannya, di mana tanpa Yejin seorang Chanyeol bisa saja mati? Mengapa bisa ada seseorang yang menggantungkan seluruh kehidupannya di tangan satu orang? Chanyeol bahkan tidak tahu apakah Yejin adalah orang yang tepat baginya.

Tanpa terasa air mata mengalir di sisi wajah Yejin. Dia ingin tersenyum dan menangis detik itu. Dia ingin menertawakan semua kenangan indah yang pernah dia buat bersama Chanyeol, dia juga ingin menangisi kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang akan memisahkan mereka berdua.

“Apa…apa kau mencintaku, Yeol?”

“Umurku dua puluh tahun, dan maaf, aku tidak tahu apa aku mencintaimu atau tidak.”

Yejin terisak. Chanyeol panik.

“Hei, apa kau menangis? M-maafkan aku. Aku tadi hanya bercanda. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Kim Yejin—“

“Apa kau mengatakannya hanya untuk membuatku berhenti menangis?”

“Tidak! Tentu saja tidak! Aku benar-benar mencintaimu. Sumpah.”

Senyuman merekah di wajahnya. Tuhan menyiapkan naskah terbaik baginya. Sungguh, dia tidak bohong.

“Apa kau juga mencintaiku?” Chanyeol balik bertanya.

“Bagaimana kalau tidak?”

Chanyeol terdiam sejenak.

“Meskipun kau membunuhku, aku tetap akan mencintaimu.”

Ya, Yejin mencintainya.

***

Chanyeol benci saat Yejin mengacuhkan dirinya, namun dia lebih benci jika dia yang mengacuhkan Yejin.

Suhu udaranya 32 derajat celcius, pendinginnya tiba-tiba tidak berfungsi dan menyebabkan dorm milik Chanyeol mirip neraka kecil. Terpaksa dia harus membetulkannya.

Dia melirik Yejin di sampingnya, gadis itu tidak membaca buku dan kehadirannya seperti membawa sejuta matahari, bulan, bintang beserta seluruh isi galaksi bersamanya. Chanyeol senang, tapi tidak di kala dia harus berkonsentrasi penuh pada pendingin keparat itu.

“Sepertinya aku harus mengambil peralatan di gudang bawah.”

“Kau bisa membetulkannya sendiri?”

“Iya.”

“Oke.”

Chanyeol beranjak dan Yejin juga ikut berdiri bersamanya.

“Kau mau ikut ke bawah?”

“Iya, siapa tahu kau takut laba-laba dan tikus.”

Chanyeol memutar kedua bola matanya. “Please, itu waktu umurku lima tahun. Tunggu saja di sini dan…” dia ragu mengatakan ini. “Kau boleh membaca bukumu selagi aku bekerja.”

“Benarkah?”

“Kau menunggu ucapan ini keluar ya dari tadi?”

Yejin tersenyum lemah, dia melingkarkan tangannya di tubuh Chanyeol. “Hanya tinggal beberapa chapter lagi, kok.”

Gadis itu begitu senang saat melompat ke atas tempat tidurnya, lantas membaca buku lagi. Chanyeol bertanya-tanya kapan Yejin akan melompat ke atas tempat tidurnya seperti itu—dengan Chanyeol berada di sana beserta tangan terbukanya.

Chanyeol memutuskan untuk menyimpan bayangan itu di suatu tempat selagi dia pergi ke gudang dan mengerjakan apa yang harus dia kerjakan. Yeah, sebelum suhunya semakin naik, dan Chanyeol merasa gerah, lalu dia membuka kausnya, lalu dia melihat Yejin di tempat tidurnya, dan—oke, berhenti sampai di situ, Park Chanyeol.

***

Langit hampir kehilangan cahaya ketika Chanyeol berhasil memasangkan pendingin ruangan di dinding. Dia tersenyum pada dirinya sendiri. Rasa bangga terlihat jelas melintasi wajahnya. Udaranya jadi sejuk kembali.

Dia bersenandung selagi membersihkan sisa-sisa debu, tanpa sadar seseorang tengah memperhatikannya dari belakang.

Yejin berdiri di ambang pintu sambil mendekap buku itu.

“Can I be your Eleanor, Park?”

Dan Park Chanyeol berhenti membersihkan alat pendinginnya.

“Huh?”

Yejin tersenyum lembut, Chanyeol terlihat clueless. Chanyeol mengerjapkan kedua matanya dan Yejin mampu menyebutkan dua puluh ribu alasan mengapa dia mencintai Chanyeol sedalam ini. Entah apa karena rambutnya yang setengah berantakan itu, apa karena dia pakai kaus Avengers, apa karena matanya yang bulat itu. Yejin tidak tahu pasti, tapi dia yakini banyak…banyak alasannya.

“Apa kau bilang? Ele—“

Yejin mendekatinya, mengalungkan kedua tangannya di leher Chanyeol sebelum menutup mata, berjinjit, dan menciumnya.

Tang di tangan Chanyeol meluncur begitu saja ke lantai, menimbulkan suara dentingan yang memekakkan telinga. Dia tidak peduli. Dia tidak punya waktu untuk peduli ketika yang seharusnya dia lakukan adalah merengkuh pinggang Yejin dan membalas apa yang gadis itu perbuat.

Dunia selalu terasa berputar begitu cepat saat gigi Chanyeol berlarian di bibir bagian bawahnya. Telapak tangan lelaki itu bertualang di punggungnya, seolah tubuh Yejin adalah tempat baru yang belum pernah dia singgahi sebelumnya. Yejin berharap suatu hari nanti dia mempunyai kemampuan untuk tetap membuka matanya setiap kali mereka melakukan hal ini. Park Chanyeol terlalu indah untuk dilewatkan dengan cara seperti ini.

“Buku apa yang sebenarnya kau baca, Kim Yejin?” gumam Chanyeol begitu dekat, napas mereka bertautan di udara. “Dammit, kau belum pernah menciumku seperti ini sebelumnya. Seperti kau sedang berusaha membunuhku.”

Yejin tak dapat menahan tawanya. Dia melepas begitu saja. Chanyeol terlihat merona—memiliki radiasi tak terbataskan, liar dan penuh kebebasan berkelebat di matanya. Seperti matahari, Yejin hanya ingin berdiri di bawahnya dan bermandikan sinarnya.

Eleanor—dalam buku itu—benar. Apa yang Eleanor rasakan terhadap Park benar sama dengan apa yang Yejin rasakan.

Because Park was the sun, and that was the only way Eleanor could think to explain.

***

“Eleanor and Park. Wow, kau membelinya karena tokohnya bernama sepertiku?”

Malam itu mereka pergi makan di luar. Dan Yejin menolak naik karavan milik Chanyeol. Dia memilih bus.

Yejin mengabaikan pertanyaan itu, namun senyumnya tidak hengkang dari wajahnya. Mereka tertahan di sana sementara tangan kiri Chanyeol membungkus tangan kanannya erat.

“Eleanor dan Park bertemu pertama kali di bus sekolah. Dan mereka saling jatuh cinta, dan setiap kali Park menggenggam tangan Eleanor seperti ini…” Yejin mengangkat tangan mereka. “Park merasakan tangan itu hidup di genggamannya.”

Tangan Chanyeol tidak selembut madu atau kapas seperti tangan Park, tapi mereka selalu hangat dan terbuka untuk siapa pun yang membutuhkannya.

“Hmm…” Chanyeol menggumam. “Apa Park tampan?”

“Uhum. Matanya warna hijau.”

“Apakah aku perlu pakai contact lense warna hijau?”

Yejin menatap kedua matanya. “Tidak, aku suka warna matamu.”

“Apa Park bisa main gitar sepertiku?”

“Entahlah, tapi dia punya selera musik yang bagus dan selalu sejalan dengan Eleanor.”

“Honey,” Chanyeol langsung meresponnya. “Bukannya aku membenci lagu-lagumu, hanya saja…Tao sangat suka Ellie Goulding dan dia menyanyikannya hampir setiap hari, dan itu membuatku muak,” ujar Chanyeol menjelaskan.

Baiklah, Yejin mengerti sekarang. Dia menyumpalkan salah satu headset-nya ke telinga Chanyeol dan telinganya. Dia menyingkirkan lagu Ellie Goulding, Coldplay, Ed Sheeran, Bruno Mars, Ariana Grande, bahkan Katy Perry sekali pun.

Begitu dia menekan tombol play di ipod-nya, Chanyeol langsung tersenyum dan mencium keningnya.

“My Chemical Romance. I do love it, honey.”

***

“Apa Park bisa makan sepuluh kentang sekaligus?”

“Apa Park bisa minum milkshake stroberi lewat hidungnya?”

“Apa Park bisa—“

“Shut up, Chanyeol. Just kiss me.”

“O-oh, oke.”

Pendinginnya berfungsi dengan baik, tapi kenapa suhunya masih saja tinggi dirasa?

THE END

A/N:

TOO MUCH KISSES, TOO MUCH SKINSHIP, TOO MUCH CHEESE!

BEWARE CHEESE ON EVERYWHERE! PLEASE MIND YOUR STEP!

Hai, aku…aku gatau harus menyapa kalian seperti apa karena GOSH! IT’S ALMOST 5 OR 6 MONTHS! Tepuk tangan untuk diriku, aku berhasil hiatus lebih lama daripada orang lain ha-ha-ha-ha

Ugh, oke. Sebenernya aku gak bermaksud membuka wp dan ngepost ini, tapi aku tidak bisa menahan kebaperan setelah baca Eleanor & Park sendirian, plis, semua orang harus merasakannya hahaha

DAN KENAPA SIH HARUS PARK?! KAN BISA JADI PARK CHANYEOL, PARK JIMIN, JAY PARK, PARK JISUNG—okay, stop there, Dira.

Ya, gitulah pokoknya. Novel itu berhasil membuatku nulis lagi setelah sekian lama dan 3000 kata lebih ini diselesaikan dalam satu hari. Oh wow, ini pasti parah banget. Maaf, kalo tulisannya acak adut. Aku cuma mau menumpahkan apa yang kurasakan so…idc what people say okay haha

Selamat menikmati (untuk yang menikmati) dan cobalah untuk menikmatinya (bagi yang tidak menikmati) hahaha

See you around. Duh, kalo wp sudah terbuka ini pasti ada ide2 tercurah dari langit aku keseeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeel 😦

P.S: yang belom baca Eleanor & Park, harus baca, sekarang juga, gamau tau. Tolong temani aku baper, oke *wink* *wink* hahaha gak deng becanda.