A Bunch of Baby [Chen “The Troll Appa”]

Title : A Bunch of Baby [Chen “The Troll Appa”]

Author : Hangukffindo

Cast : Chen EXO-M, Jun Hwa (OC) as wife, and Kim Dong Dong (OC) as his son.

Rating : Pg-13

Genre :  Fluff(?), Comedy, Family

Length : 3000+w

Summary : Kim Jongdae berusaha menjadi ayah yang baik bagi bayi kecilnya walaupun sebutan “The Troll Appa” melekat erat di dahinya.

***

Hari Minggu yang tenang.

Matahari tidak terlalu tinggi menggantung di langit biru hingga bayi kecil itu tertidur pulas dibalik selimut polkadot kesayangannya. Boneka Donal Duck yang bersih, beraroma cologne bayi ada dalam pelukannya seolah dia teman tidur yang menyenangkan, yang temani dirinya lewati mimpi indah tentang bedak bayi, susu hangat yang lezat, dan kecupan selamat pagi yang…

Tiba-tiba dia terbangun karena satu alasan.

“SELAMAT PAGIIII!!!!”

Bayi kecil itu mendadak bangun, membuka matanya, lalu menangis keras. Seakan ada serangan beribu-ribu serdadu menyerang jantung mungilnya yang kini berdentum dibalik rongga dadanya. Hei, dia belum sempat menguap, menelusuri langit-langit kamarnya yang lucu dan tiba-tiba dia harus terbangun seperti itu, maka menangislah dia karena suara itu. Tentu saja ini bukan cara membangunkan yang tepat.

“Bangun, bangun! Ayo, banguuuuunnn!” seru Jongdae dengan nada riang seakan dia sedang membangunkan temannya, Luhan semasa kuliah dulu, juga menarik kaki Kris disamping tempat tidurnya.

Tapi…

Ini…ANAKNYA!

Bayi itu adalah anaknya yang masih berusia delapan bulan, belum mempunyai satu gigi pun yang menempel di gusinya dan kini dia melolong, menjerit ketakutan. Andaikan dia bisa berteriak, mungkin dia akan katakan: AYAH, KAU GILA!!

Kim Jongdae positif sudah kehilangan akal sehatnya.

“Oohh…” sekejap suaranya tunjukkan kekecewaan yang jelas. Jongdae cemberut di sisi box bayi, mengerucutkan bibir, dan wajahnya yang seperti Troll berkerut tidak senang. “Begitukah caramu menyambut ayah di pagi hari?”

Harusnya aku yang bertanya begitukah caramu membangunkanku dari tidur?  Sekali lagi andaikan si kecil Dong Dong bisa bicara dan memutar kedua bola mata persis seperti ibunya kalau sedang kesal pada orang ini.

“Kau selalu tertawa jika ibumu yang kesini pagi-pagi sebelumnya.”

Tentu saja! Dia membangunkanku dengan suara yang lembut, bukan teriakan seperti itu!

Jongdae mengelus rambut tipisnya yang halus, pipi gembul itu berwarna merah muda di bawah tempaan sinar matahari yang lemah. Jongdae tersenyum lebar mirip tokoh Joker dalam film Batman, mengerikan tetapi itu adalah salah satu ketulusan yang bisa dia tunjukkan.

“Jangan tidur lagi, oke? Tebak, tebak…hari…ini…ibumu…” Dia berbicara perlahan, penuh teka-teki, mengajak Dong Dong bermain permainan yang tidak lucu di pagi hari, karena anak ini masih sangat mengantuk, maka dia hanya menatap kosong Jongdae.

Jongdae menarik napas dalam-dalam dan…

“PERGI KE RUMAH TEMANNYA!! Itu berarti kita hanya berdua seharian ini. Kau senang kan, Dong Dong?” dia rentangkan tangan di udara dan si kecil yang sedari sudah tenang, kini kembali menangis tak kunjung henti. Hari minggu seharusnya jadi hari paling menyenangkan bagi bayi kecil ini, dimana dia bisa bergelung lebih lama sembari menunggu susu hangatnya atau apa saja yang membuatnya tenang hari itu. Tapi sekarang…

“Eh, jangan kelewat bersemangat begitu.” Ujar Jongdae yang mengartikan tangis itu adalah ‘Tangis Haru’. Dia pun mengangkat si kecil dari tempatnya dengan satu tangan (jangan coba ini di rumah). Pelukannya tidak senyaman ibu si kecil, tapi mau tidak mau inilah kenyataan yang ada: Kim Jongdae adalah ayahnya!

“Ayo, kita mandi dan sarapan. Sehabis itu, kita bersenang-senang! Ini hari Dong Dong dan ayah Jongdae hahaha…” Dia bersiul ceria, tidak sengaja menginjak salah satu robot-robotan milik Dong Dong di lantai dan menyumpah.

Dong Dong menangis.

 

AKU MAU IBUKUUUUUUU!!!!

 

***

Jika ada kontes ayah terburuk di dunia, semua orang merasa Jongdae-lah yang pantas berdiri di podium juara satu untuk membawa pulang piagam serta piala super besar ke rumah. Dia cukup baik sih. Tidak terlalu buruk menyiapkan sarapan bagi dirinya sendiri: ‘Telur goreng mata sapi yang kena katarak’ (karena kuningnya pecah melebar kemana-mana saat digoreng dan itu tampak mengerikan) dan segelas kopi susu (dia tidak bisa temukan creamer dan mencuri beberapa sendok susu Dong Dong).

Tapi tidak ada yang lebih buruk ketika membuat susu ‘hangat’ untuk si kecil yang berkali-kali menguap di babywalker-nya.

“Anda mau minum apa, Tuan Dong Dong?” tanya Jongdae menyiapkan botol susu di meja dapur. “Segelas susu enak? Akan kusiapkan, tenang saja. Susu eksklusif dari Amerika khusus untuk Anda, Tuan Dong Dong yang tampan. Pelayan Kim siap melayani.” Dia membungkuk dalam. Jongdae senang sekali bermain drama di pagi hari bersama Dong Dong, dan tidak dapat dipungkiri anak kecil itu juga menyukainya, tertawa cekikikan memperlihatkan gusi merha yang mungil.

Jongdae sangat apik menuangkan air dan susu ke dalam botol susu warna biru muda yang bening. Mengocoknya dengan gaya bartender ahli, membuat botol itu melayang tinggi dan tangan di belakang punggung menangkapnya. Dia sangat keren dari sisi ini.

“Oh, Tuan Dong Dong, kau menyukainya?” cengir Jongdae, mengerlingkan sebelah matanya.

Setelah semuanya selesai, Jongdae bersiap memberikan susu pada Dong Dong, namun dia ingat pelajaran pertama dalam memberi susu yang telah diajarkan istrinya: ‘Teteskan susu di tangan untuk mengetahui suhunya.’

“Tunggu sebentar ya, Tuan Dong Dong, aku…AAAAAAAAAAKKKKKH!!”

Jongdae mengibaskan tangannya yang melepuh, ada noda merah di kulitnya dan bayangkan apa yang terjadi jika susu itu terlanjur diberikan pada Dong Dong.

“PANASSS!! Bagaimana bisa?” isaknya kesakitan.

Dong Dong memberinya wajah datar, tatapan kosong, ingin rasanya menulis kata THE END pada drama ‘Tuan Dong Dong dan Pelayan Kim yang Idiot’ pagi ini. Jadi…

Lupakan tentang susu. Dong Dong tidak berhasrat meminumnya, maka dia berjalan pelan-pelan keluar dari dapur bersama babywalker­-nya.

“Hei, Dong Dong, kau mau kemana??”

***

Mandi adalah salah satu kegiatan menyenangkan menurut Dong Dong.

Disaat seperti inilah dia bisa bertemu air, bermain dengan bebek karet yang punya banyak anak di bak mandi, oh! Juga bola-bola kecil warna-warni yang menyembul jika di tekan ke dalam air. Betapa gembiranya dia ketika Jongdae menggendong tubuh mungilnya kearah kamar mandi, menaruhnya di dekat wastafel sementara satu persatu bajunya hilang ke tempat pakaian kotor.

Biasanya dia akan mendengar beberapa pujian dari ibunya akan tubuh putih mulus seperti susu itu: ‘Lihat, siapa yang tampan disini? Tentu saja Kim Dong Dong, anak ibu’ atau ‘Siapa yang paling tampan di rumah? Kim Dong Dong namanya’, namun kini…

“Oh, Dong Dong, lihat dirimu…kau tidak punya otot seperti ayah.” Jongdae sedang memuji tubuhnya sendiri di cermin, berpose layaknya Choi Siwon dalam pemotretan sebuah majalah. “Ayah akan mengajakmu berolah raga di gym agar tubuhmu se-keren ayah. Kau mau kan?”

Tatapan kosong dan wajah datar penuh iler kembali muncul seakan itu adalah langkah tepat untuk menghentikan ayahnya yang sedikit ‘kelainan’ ini.

“Oke, Dong Dong, ayah akan menunjukkan beberapa langkah untuk mendapatkan penampilan yang keren layaknya member boyband masa kini.” Jongdae mengeluarkan odol di atas sikat giginya, lalu menggosok gigi. “Eumm…ini…langkhah..mm…pertama…” kemudian dia melangkah ke dalam tempat pancuran air berada.

“Tidak tahukah kau dulu ayah adalah dancing machine di kampus dan ibumu jatuh cinta padaku karena melihat tarianku yang menakjubkan.” Kata Jongdae, mulai menyalakan pancuran.

Dong Dong menaikkan sebelah alisnya dan Jongdae kaget. “Tidak percaya? Oke, ayah akan perlihatkan padamu bagaimana tarian yang dapat memikat para wanita.”

Oh, ya? Tunjukkan kalau memang benar begitu adanya.

Jongdae mengambil shampoo dan bernyanyi keras-keras. Well, dia punya suara yang bagus, melengking indah seperti malaikat yang sedang bernyanyi. Namun itu tidak bisa menghapus bagaimana cara dia menari, gerakkan lengan dan kepalanya seperti orang ‘waras’ di bawah pancuran air.

“Ayo, nyanyi bersamaku, Dong…WHOOOAAAAHHH!!!”

Dong Dong menutup mata dengan kedua tangan kecilnya, bersyukur hanya ada dia yang melihat ini semua—tingkah konyol ayahnya dan dia percaya memang tidak ada ayah se-Troll ini di dunia. Hanya Kim Jongdae seorang yang terpeleset oleh sabunnya sendiri.

Aku bisa mandi sendiri. Batin Dong Dong.

“A-awww…kepalaku…”

***

Akhirnya mereka keluar dari rumah itu dengan plester di dahi Jongdae beserta Dong Dong di dalam kereta bayinya yang nyaman. Hari ini adalah hari Dong Dong dan ayah Jongdae, maka itu Jongdae mengajaknya jalan-jalan ke taman bermain, tidak mau melewatkan momen ini dengan berdiam diri di rumah. Mereka harus pergi keluar.

Sepanjang perjalanan mereka berdua tersirami tatapan penuh ketertarikan oleh para pejalan kaki di sekitarnya. Jongdae tentu menikmati hal ini karena beberapa gadis kuliahan berbisik-bisik sambil memandangnya: “Apa benar itu anaknya? Dia masih muda…” dan wanita berbaju seksi baru saja melambai padanya lalu menyapa Dong Dong, “Anak yang lucu, siapa namanya?”

“Namaku Kim Jongdae.” Eumm…itu bukan jawaban yang tepat. Wanita itu memutar kedua bola matanya dan pergi melenggang tinggalkan mereka.

“Eh, apa salahku? Dia tanya namaku kan?”

          Akan kuberitahu ibu nanti. Dong Dong mengemut jarinya lagi.

Mereka pergi ke taman bermain yang kebetulan jaraknya tidak jauh dari rumah mereka. Dengar-dengar ada pesta karnaval tokoh-tokoh Disney siang ini dan pastilah Dong Dong ingin lihat Donal Duck ukuran besar lebih dari boneka kesayangannya.

Melihat keadaan di sekelilingnya, anak-anak bermain layangan, berlarian bersama orang tua mereka, tiba-tiba Jongdae teringat masa kecilnya yang tidak terlalu menyenangkan. Kenangan pahit yang dia rasakan saat bersama ayahnya yang sering memukul tubuhnya. Dimana seharusnya dia merasakan kelembutan tangan seorang ayah, bukan bilur-bilur di sekujur tubuhnya.

Dia mungkin bodoh, dia mungkin konyol dan tidak tahu bagaimana mengurus anak dengan benar, tapi satu hal yang dia tanamkan sejak kecil, dia tidak akan pernah memukul anaknya sendiri bagaimana pun keadaannya, atau senakal apapun Dong Dong, karena dia menyayanginya.

Jongdae berjongkok di sebelah kereta bayi, tersenyum sedih dan mengelus kepala botak milik Dong Dong. “Ayah menyayangimu lebih dari apapun, Dong Dong. Ayah tidak akan menyakitimu, tidak akan memukulmu…ayah yang baik akan berbuat seperti itu, iya kan?”

Kali ini Dong Dong tidak memberinya pandangan kosong dan wajah datar. Anak itu tidak cukup paham apa yang dia katakan karena sejauh ini memang Jongdae tak sekali pun memukulnya.

Pria itu memang konyol dalam tingkah laku, namun hatinya tetap saja selembut kapas dan gulali warna pink yang manis.

Cukup adegan sendunya!

Mereka kesini untuk bersenang-senang. “Ayo, kita jalan-jalan, Dong Dong! Kita pergi kesana ya?” Jongdae mendorong kereta bayi keliling taman bermain. Mereka memandangi anak-anak bermain lempar bola, badut-badut yang menari, komidi putar yang tinggi. Jongdae tidak bisa membawa Dong Dong naik roller coaster (syukurlah dia menyadari hal ini)

Pada akhirnya mereka berhenti di bangku taman. Matahari sore terlihat sangat indah dari tempat mereka dan hangatnya bagus untuk kulit si kecil Dong Dong.

“Senang?”

Andaikan Dong Dong bisa mengangguk, dia pasti sudah melakukannya sedari tadi.

“Aku juga senang, oh!!” tiba-tiba Jongdae terperanjat. Dia mendengar suara musik di kejauhan mulai mendekat. “Dengar, dengar, Dong Dong, karnaval keliling tokoh-tokoh Disney!” serunya heboh dan sibuk mencari sesuatu di kantung celananya.

Dikeluarkanlah ponselnya dari dalam kantung, dia tersenyum sembari memberitahu Dong Dong si bayi kecil. “Dong Dong, ayah akan kesana sebentar mencari Paman Donal Duck. Kau tunggu disini ya sementara ayah kesana.”

Apa barusan dia bilang? Meninggalkanku???

Belum sempat anak itu menangis tanda tak setuju, Jongdae sudah berlari ke sumber suara meninggalkan si bayi kecil sendirian di dekat bangku taman tanpa seorang pun yang menemani!!

***

Mereka…berwarna-warni.

Jongdae sempat terkesima oleh pesona wanita yang memakai baju Puteri Aurora. Namun dia kembali pada tujuan utamanya, yaitu mencari si Donal Duck dan setelah lima menit menerobos gerombolan itu, Jongdae akhirnya bertemu dengan badut Donal Duck.

“Whoah! Kau besar sekali!” pekiknya menepuk perut si Donal Duck seenaknya. Badut itu pun kebingungan.

“Err…tuan Donal Duck yang baik, aku minta tolong padamu agar pergi kesana.” Dia menunjuk kearah tempat dia datang. “Disana ada anakku dan dia fans-mu. Dia sangat menyukaimu sampai-sampai aku harus membelikannya boneka Donal Duck yang sangaaaaaatttt mahal. Jadi kumohon pergi kesana sebentar dan aku akan memotretmu bersama anakku.” Pintanya dengan sangat.

“Pleaaseeee…” tambahnya ketika si badut menggaruk kepalanya, namun senyuman mengembang di wajah Jongdae karena Donal Duck super besar itu baru saja menganggukkan kepalanya.

Jongdae berlari kecil kearah bangku yang tak lama dia tinggalkan tadi. Hatinya meletup-letup senang dan berpikir: pasti Dong Dong suka.

Namun…

Senyuman Jongdae luntur disana.

Kereta bayi beserta Dong Dong si bayi kecil telah menghilang entah kemana. Jongdae ingat dengan jelas dia menaruhnya disana, berbicara beberapa menit yang lalu pada Dong Dong agar tidak kemana-mana, tapi dia bodoh, sangatlah bodoh!

Bayi itu tidak akan kemana-mana, orang lah yang akan membawanya!

“Dong Dong…” panggil Jongdae setengah melamun. “Dong Dong! Dimana kau??! Kim Dong Dong!!” kini rasa panic menderanya, membuat kakinya lemas tak bisa melangkah dan otaknya mati seketika.

“A-aku menaruhnya disini tadi, sungguh! Tapi kemana dia sekarang?” Jongdae mencari di bawah kursi taman, di balik semak-semak. Dong Dong telah hilang, hanya tinggalkan dot-nya di tanah. Dot kecil yang dia emut tadi.

“Dong Dong…” gumam Jongdae menggenggam sedih dot itu dan mulai berlari kesana kemari tak karuan. Menghentikan orang dan bertanya, “Tuan, apakah kau melihat anakku, Dong Dong? Kepalanya botak dan punya sedikit rambut. Dia…dia tampan dan punya pipi gembul, usianya sekitar 8 bulan.”

Kebanyakan dari mereka menggelengkan kepala dan Jongdae berlari lagi. “Nyonyan kau lihat anakku? Dia berumur 8 bulan, pipi gembul yang lucu dan pakai baju warna biru muda. Dia…dia di dalam kereta bayi warna merah. Aku hanya meninggalkannya sebentar dan sekarang…sekarang dia menghilang…”

“Maaf, tapi aku tidak melihatnya.”

Jongdae berpindah lagi. “Nona, apa kau lihat anakku di dalam kereta bayi warna merah. Wajahnya mirip denganku. Dia…tunggu sebentar…” dia mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetaran dan wajah yang basah akan air mata. “I-ini fotonya.” Lalu dia dapatkan jawaban yang sama.

Tidak. Tidak ada yang tahu.

“Dong Dong…” isak Jongdae kelelahan, berjongkok di tepi arena permainan.    Banyak hal yang terlintas di kepalanya. Buruk serta jahat.

Mungkin saja Dong Dong diculik orang…

 

          Mungkin Dong Dong pulang ke rumah. Ah tidak mungkin!

 

          Mungkin Dong Dong di bun—

 

“TIDAAAKK!!!” jerit Jongdae frustasi. Dia hilangkan semua pikiran buruk. Membayangkan anaknya berada di tangan orang lain membuatnya mual serta ingin pingsan. Apa yang akan dikatakan istrinya nanti saat pulang dan menemukan hanya ada Jongdae di rumah. Tidak! Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi.

“Aku bodoh. Seharusnya aku tidak meninggalkan Dong Dong walaupun sebentar saja. Bodoh! Tolol! Idiot!” Jongdae memukul kepalanya. Ya, dia pantas mendapatkannya. “Ayah macam apa diriku ini??” dia tidak memukul, tidak menyiksa Dong Dong, tapi malah melakukan hal yang lebih buruk yaitu membuat Dong Dong menghilang di bawa orang lain.

Perasaannya kacau, hancur,  hingga rasanya dia mau mati saja. Dia mencari ponselnya dan hendak menekan nomor telepon polisi sebelum seorang gadis menghampirinya.

“Eumm…maaf…” Jongdae ingat dia adalah salah satu orang yang ditanyai keberadaan Dong Dong.

“Ya?”

“Kau mencari anakmu yang hilang, kan?”

“Kau menemukan Dong Dong??”

***

Matahari terbenam di sisi barat langit yang kemerahan. Langkah kaki terburu-buru berderap di lantai bagian informasi taman bermain itu. Jongdae hampir kehabisan nafas sesampainya di suatu ruangan paling ujung. Dia membuka pintunya cukup keras dan beberapa orang di dalamnya menoleh berbarengan kearah Jongdae.

“K-kalian? Kenapa…”

Disana ada Kris, Tao, Luhan, Lay, Kyungsoo, Jongin, dan Junmyeon—teman-temannya. Apa yang mereka lakukan disini?

Tidak jadi penting lagi alasan mengapa mereka ada disana karena mata Jongdae menangkap sosok kecil berpakaian biru muda di pelukan Luhan. Itu Dong Dong, anaknya!

“Dong Dong!!” Jongdae menghambur kearah Luhan, hendak mengambil kembali si anak, namun yang di dapatnya adalah pukulan keras di wajah dari seorang Do Kyungsoo.

“Kyungsoo!!!” Jongin dan Junmyeon menahan Kyungsoo agar tidak bertindak lebih jauh. Karena ini Kyungsoo, satu-satunya orang yang tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar, lemah lembut dan kini dapat membuat Jongdae terhuyung jatuh ke lantai.

Kyungsoo dipenuhi emosi. “Ayah macam apa kau, Kim Jongdae!! Bisa-bisanya kau meninggalkan anakmu di taman bermain sebesar ini!!”

“Awww…aku…aku…tidak—“

“Kau keterlaluan, Jongdae.” Ujar Kris menyilangkan tangan di dada.

Tao mengangguk, tapi tidak berkomentar karena kini Dong Dong menangis kencang sekali.

Jongdae meneteskan air mata. Air mata penyesalan bukan kesakitan karena rasa sakit jauh diluar kepalanya, yang ada hanya Dong Dong dan Dong Dong. Dong Dong tidak dibawa orang asing dan dia ada di hadapannya sekarang.

“Teman-teman, jangan begitu. Tenangkan diri kalian dan Jongdae…” Luhan memberikan Dong Dong pada pria itu. Wajahnya yang kecil terlihat merana dan basah oleh air mata. “Dia menangis terus dari tadi. Dia pasti mencarimu.” Bisiknya.

Jongdae segera membawa Dong Dong dalam pelukannya yang erat. Pemandangan yang mengharu biru itu membuat Kyungsoo kesal sekaligus membuat matanya berkaca-kaca.

“Dong Dong, maafkan ayah, maafkan ayah…maafkan ayah…” gumam Jongdae meletakkan perasaan sesalnya di setiap kata. Dia tidak bermaksud seperti ini, tapi sudah terlanjur dan rasa bersalah merayapi setiap dinding mulutnya.

Anak itu berhenti menangis. Ini bukan pelukan ibunya yang nyaman, tapi pelukan milik ayahnya jauh lebih menenangkan, penuh kasih sayang.

“Dasar idiot!” Kyungsoo menghapus air matanya dan bersembunyi dibalik tubuh tinggi Jongin.

“Jangan tanya bagaimana kami menemukan Dong Dong. Orang bodoh macam apa yang menempelkan notes di depan pintu rumahnya: hari Dong Dong dan ayah Jongdae. Kami pergi ke taman bermain. Tapi bersyukur kebodohanmu itu membawa kami kesini dan tanpa sengaja Tao menemukan kereta bayi Dong Dong dekat bangku taman…SEN-DI-RI-AN! Astaga, Kim Jongdae, apa sih yang ada di kepalamu? Kenapa kau meninggalkan Dong Dong sendirian disana? Tidakkah kau berpikir resikonya?”

Jongdae menyedot ingus, sesenggukan sambil menjawab pertanyaan Luhan. “A-aku pergi mencari badut Donal Duck untuk berfoto bersama Dong Dong. Dong Dong sangat menyukainya, maka itu—“

“Aww!” Jongin sontak berteriak karena Kyungsoo baru saja memukul punggungnya alih-alih kesal mendengar alasan yang Jongdae ucapkan.

Kris mendesah, tiba-tiba mereka semua tertawa.

Itu adalah alasan terkonyol di dunia. Demi kesenangan anaknya, Jongdae rela meninggalkan Dong Dong. Astaga, astaga, astaga. Tao hanya bisa menggelengkan kepala sambil berusaha tidak mendengarkan suruhan Kyungsoo untuk menendang kepala Jongdae sampai lepas dari tubuhnya.

Kata ‘terima kasih’ jadi satu-satunya hal  yang terucap dari mulut Jongdae sembari mobil Kris mengantar mereka berdua pulang ke rumah.

Langit sudah gelap ketika Jongdae membuka pintu mobil dan ancaman Kyungsoo terngiang di kepalanya: sekali lagi kau berbuat konyol seperti itu, Kim Jongdae, aku bersumpah akan belajar wushu dan siap membunuhmu!

Kata ‘maaf’ jadi satu-satunya pengantar tidur Dong Dong sementara mereka memasuki rumah dan hampir saja terkena serangan jantung karena Jun Hwa sang istri sedang masak di dapur.

“Hai, sayang, kalian baru pulang dari jalan-jalan seharian?” tanya Jun Hwa berwajah sedikit lelah.

Jongdae tidak yakin apakah harus menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Dia berdiri canggung di depan meja dapur, saling bertukar pandang dengan si kecil Dong Dong, tanpa sadar mengirimkan suatu kode rahasia yang menyuruhnya untuk merahasiakan hal ini.

“Kami bersenang-senang hari ini.” Ujar Jongdae ceria dan Jun Hwa mengambil Dong Dong dari Jongdae, tersenyum senang sekaligus bingung.

“Apa ada yang kalian rahasiakan dariku, hm?”

“Tidak ada.” Jawab Jongdae.

“Oohh! Sayang, apa yang terjadi dengan wajahmu?” Jun Hwa baru menyadari lebam di dekat bibirnya dan plester yang melintang di dahi.

Jongdae tertawa kecil. Kejadian dari pagi sampai sore tadi terulang kembali layaknya film documenter, menunjukkan dia ayah yang payah, ayah yang super duper tolol, tapi melihat senyuman dan sinar kebahagiaan di mata si kecil Kim Dong Dong, dia tahu Dong Dong sudah memaafkannya dan hari ini tentu SANGAT SERU!

“Apa yang kau lakukan sampai wajahmu babak belur seperti itu? Tunggu disana. Aku akan mengambil obat.” Ujar Jun Hwa.

***

Jongdae duduk di depan komputer sambil mengompres bibirnya yang nyeri. Hebatnya dia tidak menyalahkan Kyungsoo dalam hal ini.

Jongdae mulai menulis di salah satu dokumennya yang berjudul ‘PELAJARAN MENGURUS KIM DONG DONG”:

Pelajaran nomor 532:

Jangan pernah meninggalkan anakmu sendirian di taman bermain!

 

Tentu saja tidak akan ada yang melakukannya. Dan dia berjanji tidak akan mengulanginya lagi karena…

Kau tidak mau kan kehilangan…

‘Sebongkah’ bayi…

A bunch of baby.

THE END

A/N:

Woah…Author lupa kapan terakhir kali menyelipkan begitu banyak dialog dalam fic author yang belakangan ini…yah begitu deh :p

Tapi senang, senang, senang, setelah ngeliat banyak yang milih si Chen Chen biar jadi Appa hahaha 😀

Kali ini si Kyungsoo yang pengen ditabok gara-gara nabok si Chen Chen, tapi emang gregetan yah kalo punya bapak kayak Chen, ga mau deh jadi anaknya hahahaha ._.v

Oke, korban selanjutnya adalah………………….

Do you have any clue???

Wait and see ya 😀

Hwaiting!!